
Oleh : Dr. H. Lutfi Firdaus Munawar, M.A. (Koordinator Pesantren Yapidh) 8)
Dalam sebuah kisah, Imam Syafi’i saat diminta menasihati guru para putra mahkota Khalifah Harun Ar-Rasyid. Nasihat beliau sangat mendalam:
لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَبْدَأُ بِهِ مِنْ إِصْلَاحِ أَوْلَادِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ هُوَ إِصْلَاحُ نَفْسِكَ Artinya, langkah pertama memperbaiki murid adalah memperbaiki diri dahulu.
Imam Syafi’i lalu menegaskan sebabnya:
لِأَنَّ أَعْيُنَهُمْ مَعْقُوْدَةٌ بِعَيْنَيْكَ Pandangan murid sangat terikat pada guru. Mereka melihat baik dalam apa yang gurunya anggap baik, dan buruk dalam apa yang gurunya tinggalkan.
Perkara mubah bagi masyarakat umum kadang tidak pantas dilakukan oleh pemimpin. Sebab bawahan akan ikut meniru tanpa memilah. Prinsip Nabi:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ menjadi dasar bahwa pemimpin harus layak untuk diikuti.
Sebagai contoh, kisah Nabi saw., yang melepas sandal ketika shalat karena diberi tahu Jibril bahwa sandalnya terkena najis. Spontan seluruh sahabat juga melepas sandal. Setelah shalat, Nabi bertanya:
مَا بَالُكُمْ أَلْقَيْتُمْ نِعَالَكُمْ؟ Mereka menjawab: “Karena kami melihat engkau melakukannya.” Sahabat mengikuti sebelum mengetahui alasan. Inilah bukti bahwa seseorang di posisi atas sangat menentukan persepsi dan perilaku orang-orang di bawahnya. Perbuatan kecil pun menjadi contoh. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus berhati-hati terhadap setiap tindakan.
Konsep الأدب قبل العلم—adab sebelum ilmu. Guru harus beradab sebelum mengajar, karena yang pertama kali diserap murid adalah akhlaknya, bukan ilmunya. Adab adalah pintu bagi ilmu untuk masuk.
Ibnu Mubarak menyampaikan bahwa:
تَعَلَّمْتُ الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ عَامًا، وَتَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ عَامًا dan beliau berkata:
وَكَادَ الْأَدَبُ أَنْ يَكُوْنَ ثُلُثَيِ الْعِلْمِ Menunjukkan bahwa kualitas adab lebih menentukan dari banyaknya ilmu.
Da’i dan guru adalah pusat perhatian masyarakat. Karena itu Nabi berpesan kepada Mu’adz bin Jabal:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ… وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Sikap baik menjadi kunci diterimanya dakwah, lebih dahulu dari ilmu yang disampaikan.
Rasulullah pun menjadi teladan terbaik. Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak beliau, jawabnya:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ Beliau mempraktikkan isi Al-Qur’an sebelum mengajarkannya. Maka dakwah beliau sampai ke hati karena disampaikan dengan hati yang hidup.
Selain itu, Imam Ahmad berkata:
صَوْتُ الْقَلْبِ إِلَى الْقَلْبِ يَسْرِي Suara hati pasti sampai ke hati. Dakwah yang lahir dari keteladanan dan adab akan lebih mudah diterima dibanding dakwah yang hanya berbasis intelektualitas.
Terakhirm kejayaan dakwah Rasulullah bukan karena pedang, tapi karena akhlak dan adab. Pemimpin harus lebih dahulu memperbaiki adabnya agar yang dipimpin juga menjadi baik. Semoga Allah meneguhkan akhlak kita semua.
*) Disampaikan dalam acara Dauroh Manajemen Sekolah dan Pesantren pada Kamis, 4 Desember 2025 di Villa Pinur Bogor