Pemuda terutama kalangan pelajar, baik tingkat sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi pada saat ini berpotensi terjebak menjadi generasi instan. Bagai mana tidak, sejak pandemi melanda negeri ini dan negeri-negeri di belahan dunia lainnya, kebiasaan aktivitas online telah mengubah kebiasaan, karakter, dan semua segi kehidupan. Aktivitas pembelajaran online telah memaksa generasi sekarang tidak bisa terlepas dari gawai dan fasilitas pendukung pembelajaran lainnya.
Gawai, yang awalnya hanya sebagai penunjang kegiatan belajar, kini keberadaannya sangat sulit untuk dipisahkan. Budaya ketergantungan dengan guru dan lembaga pendidikan lama-lama terkikis. Siswa dan mahasiswa lebih nyaman bertanya ke google dan mesin telusur lainnya untuk mencari pemecahan masalah. Game online, media sosial, dan aplikasi hiburan lainnya menjadi efek turunan dari diberlakukannya pembelajaran online.
Keadaan seperti ini, mulai dikhawatirkan kalangan orang tua dan pendidik. Pembelajaran online dirasa dan dipandang tidak maksimal membentuk karakter siswa dan mahasiswa. Siswa menjadi kurang berinteraksi dan bersosialisai. Kebiasaan hidup instan sudah semakin mendarah daging, lebih-lebih ditunjang pula dengan adanya akses-akses belanja online yang semakin meluas ke berbagai macam kebutuhan, menjadikan kalangan generasi semakin merasa dipermudah dalam melakukan beragam aktivitas.
Di satu sisi ada kemajuan dalam efisiensi beraktivitas. Namun, di sisi lain melemahkan kreativitas. Kalangan remaja putri tidak lagi berpikir harus memasak, karena beragam kebutuhan bisa diperoleh secara online. Remaja putra, tidak lagi berinisiatif menciptakan karya, karena segala sesuatu bisa diperoleh secara instan. Jika hal ini berlanjut, maka generasi kita akan tumbuh secara pasif, minim kreasi, dan semakin jauh dari interaksi dan sosialisi.
Lalu, akankah generasi instan ini tumbuh, bangit, dan tersadar bahwa masa depan bangsa ada di tangannya?